BERITA TERBARU HARI INI – Kisah Wanita Pemulung di AS, Raup Rp1,2 Miliar Berkat Jual Barang dari Tempat Sampah. Seorang wanita Amerika dari Texas, Tiffany Butler, menjadi berita utama karena penemuannya yang berharga selama aktivitasnya menjadi pemulung, mencari barang di tempat pembuangan sampah.
Butler, yang secara rutin memilah-milah barang yang dibuang untuk menyelamatkan barang yang masih bisa dipakai, baru-baru ini menemukan sekantong besar sepatu kets New Balance baru di tempat sampah.
Sepatu kets tersebut, yang masing-masing bernilai lebih dari Rp1,8 juta, merupakan beberapa barang baru lainnya, termasuk botol air, kaus, dan kaus kaki dari merek yang sama.
Pemulung berusia 34 tahun yang mencari barang di tempat pembuangan sampah dua hingga tiga kali seminggu, seperti dikutip dari NDTV, Kamis (8/8/2024), melaporkan bahwa penemuan khusus ini merupakan keberuntungan, karena sebelumnya dia tidak berhasil menemukannya di lokasi itu.
“Anda tidak pernah tahu kapan toko akan membuang barang-barang -semuanya hanya soal keberuntungan,” kata Butler, yang mencari barang di tempat pembuangan sampah setidaknya dua hingga tiga kali seminggu, kepada What’s The Jam.
Butler menghitung bahwa selama dua tahun, ia telah menghasilkan sekitar Rp1,2 miliar dari menjual kembali barang-barang yang hasil memulung di tempat sampah. Ia membagikan penemuannya kepada tiga juta pengikut media sosialnya, menunjukkan nilai potensial barang-barang yang mungkin dibuang orang lain.
Mendapatkan barang berharga atau uang tunai bukanlah hal baru di dunia ini. Sudah ada beberapa kejadian di seluruh dunia, di mana orang menemukan uang tunai atau barang berharga lainnya, seperti perhiasan, di tempat sampah.
Kisah Pemulung Temukan Barang Lainnya
Pada tahun 2023, seorang pemulung di Bengaluru menemukan beberapa bundel dolar AS senilai $3 juta atau sekitar Rp47 miliar di tumpukan sampah. Namun setelah pemeriksaan, polisi menemukan bahwa uang kertas itu palsu.
Salman Sheikh menemukan 23 bundel uang kertas di tumpukan sampah pada tanggal 1 November di Hebbal, Bengaluru.
“Saya sedang mengerjakan pekerjaan saya, dan tiba-tiba saya melihat tas ini. Pada pukul 1 siang, saya melihat banyak uang tunai. Saya langsung pingsan. Saya belum pernah melihat uang sebanyak itu. Saya tahu itu bukan mata uang India,” kata Sheikh.
Guru di China Rela Jadi Pemulung Demi Membantu Muridnya
Sementara itu, seorang guru di China bernama He Chunyu rela menjadi pemulung untuk membantu membayar uang sekolah bagi murid-muridnya yang kekurangan biaya.
Dia bersama guru lainnya di sebuah sekolah menengah pertama di kota Lingshan, memulung botol plastik bekas, kertas dan barang bekas lainnya untuk dijadikan uang.
Dikutip dari AsiaOne pada Minggu (12/11/2017), atas upayanya He telah berhasil mendonasikan sekitar US$ 3 ribu atau sekitar 40 juta untuk disumbangkan pada lebih dari 300 murid di sekolahnya.
Setelah lulus pada 1998, dia memutuskan kembali ke tanah kelahirannya untuk menjadi seorang guru.
“Ketika saya melihat beberapa murid harus putus sekolah karena kekurangan harta, saya merasa tak nyaman. Tapi tak ada jalan lain pada saat itu karena pendapatan saya terbilang rendah,” tukasnya.
Untuk membantu siswa yang kekurangan biaya tadi, ia lalu mulai ‘mengoleksi’ barang bekas di waktu senggangnya.
“Waktu terbaik untuk mengumpulkannya adalah ketika murid-murid membuang sampah setelah pagi, jam makan siang atau pada saat mereka pulang sekolah,” tambahnya.
Dia juga berujar, teman dan keluarganya sering ‘mengejek’ tindakannya itu. “Rekan-rekan sering bercanda memanggil saya ‘King of Waste’ (Raja Sampah) dan istri juga sering mengeluhkan baju saya yang kotor. Walaupun begitu, mereka terus mendukung saya.”
He mulai mendapat banyak perhatian sejak ‘perjuangannya’ diangkat oleh TV lokal pada 2009.
Departemen pendidikan setempat pun memutuskan untuk ikut memberi bantuan dana bagi para murid yang kekurangan biaya di sekolahnya.
“Sebenarnya yang bisa saya lakukan itu terbatas. Tapi saya berharap, langkah saya turut menginspirasi para murid yang kesulitan biaya sekolah agar dapat belajar lebih tekun lagi,” tutupnya.
Pemulung Peduli Pendidikan Asal Indonesia
Indonesia juga memiliki sosok seperti He Chunyu yang peduli akan masalah pendidikan bagi anak yang kekurangan biaya.
Sosok itu bernama Yoseph Orem Blikolon. Lelaki berusia 64 tahun yang bekerja sebagai pemulung itu nekat mendirikan sebuah yayasan pendidikan bernama Peten Ina.
Lelaki asal Flores, Kabupaten Lembata itu, lalu mendirikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Surya Mandala pada 2012. Dengan dana terbatas, ia pun menyewa sebuah gedung di Jalan Monitor, RT 026 RW 019, Kelurahan Oesapa, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang dengan nomor izin operasional DISPPO 801/SEK/33/ 2013.
Pada awal sekolah itu dibuka, ada 87 siswa yang diundangnya untuk menimba ilmu. Semua anak itu sudah putus sekolah. Mereka berasal dari keluarga miskin, seperti anak pemulung, anak penjual ikan, anak pendorong gerobak dan anak penjual koran.
Maka itu, ia tidak mengenakan biaya sekolah bagi mereka alias gratis. Bahkan, sekolahnya menyediakan seragam bagi para siswa.
Agar sekolah bisa beroperasi, Yoseph berkeliling mencari guru. Dari sekian banyak guru yang ditawarinya, mereka ada yang bersedia tidak dibayar. Kini, ada delapan tenaga pengajar yang dibayar dengan hasil menjual rongsokan.
“Saya hanya ingin anak-anak yang setiap hari di jalan bisa sekolah kembali, tidak perlu memikirkan biaya. Meski saya hanya seorang pemulung, tetapi saya ingin anak-anak tidak seperti saya. Mereka masih mempunyai masa depan yang panjang dan mereka butuh uluran tangan saya,” ujar Yoseph kepada Liputan6.com.
Untuk menyekolahkan anak-anak dari keluarga yang tidak mampu, Yoseph bersama seorang guru PNS Bruno Kia Eban mencari anak-anak putus sekolah dari kota hingga ke daerah pelosok. Ia menegaskan bukan hal mudah untuk merangkul dan mendidik anak-anak jalanan itu.
Kesabaran dan pengorbanannya mendidik mereka kini sudah “berbuah”. Setiap tahun jumlah siswa sekolah gratis itu bertambah dan bahkan sebagian anak-anak yang tamat kini bersekolah di SMA.
“Saya punya rencana bangun SMK untuk tampung anak-anak setelah tamat dari sekolah ini. Tetapi saya masih belum memiliki lahan dan masih kekurangan anggaran,” kata Yoseph.