BERITA TERBARU HARI INI – Buah Simalakama Usulan Polisi Tak Pakai Senjata Api. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan mengkaji usulan polisi tidak lagi membawa senjata api layaknya negara-negara maju. Hal ini buntut kasus penyalahgunaan senjata api oleh polisi yang tembak siswa SMKN 4 Semarang hingga tewas. Serta kasus polisi tembak polisi di Polres Solok Selatan.
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan meskipun usulan ini memiliki niat baik, kebijakan tersebut tidak bisa diterapkan sepenuhnya di Indonesia.
“Makanya beberapa fungsi itu harus tetap menggunakan senjata api berpeluru tajam. Senjata api itu pada dasarnya harus melekat pada tugas, bukan pada personal,” tambahnya.
Menurut Bambang, tidak semua anggota polisi perlu membawa senjata api. Fungsi-fungsi yang lebih fokus pada upaya preventif atau pre-emptive, seperti unit SDM, Pembinaan Masyarakat (Binmas), atau sebagian Satlantas, misalnya, tidak memerlukan senjata api berpeluru tajam.
“Untuk yang level-level ancaman berisiko menengah atau sedang, cukup (menggunakan) senjata api berpeluru karet,” sambungnya.
Meskipun demikian, Bambang menilai penggunaan pentungan oleh satuan pengamanan seperti Satuan Bhayangkara (Sabhara) dalam menjaga Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) masih bisa diterima.
“Itu bolehlah cukup menggunakan pentungan saja,” kata Bambang.
Kontrol yang Lemah
Namun, ia juga menekankan bahwa masalah utama yang terjadi dalam kepolisian saat ini adalah lemahnya kontrol dan pengawasan penggunaan senjata api.
“Selama ini saya melihat kontrol dan pengawasan terkait penggunaan senjata api di kepolisian ini masih sangat lemah. Maka alih-alih daripada mengatur terkait larangan penggunaan senjata api seperti yang disampaikan DPR, lebih baik juga harus ada evaluasi,” tegasnya.
Dalam konteks urgensi wacana ini, Bambang menjelaskan bahwa penyalahgunaan senjata api oleh oknum polisi lebih terkait dengan masalah individu dan sistem pengawasan yang tidak berjalan optimal.
“Peraturan-peraturan terkait SOP penggunaan senjata api itu di kepolisian sudah sangat banyak. Yang terjadi saat ini kan bukan merata, tapi hanya sporadis yang dilakukan oleh oknum per oknum,” jelasnya.
Menurut Bambang, DPR tidak cukup hanya mengkaji larangan senjata api, melainkan harus mengatasi akar masalah terkait sistem kontrol dan pengawasan yang masih lemah.
Terkait dengan efektivitas kinerja polisi jika hanya dibekali pentungan, Bambang mengingatkan bahwa risiko tinggi dalam tugas kepolisian tidak bisa diabaikan.
“Kalau sekedar menggunakan pentungan, terus mereka yang bertugas dengan potensi risiko yang tinggi bagaimana? apakah mereka berani untuk menindak pelaku kriminal dan lain-lain sekedar diperlukan pentungan? itu kan harus dipikirkan oleh DPR,” ungkap Bambang.
Sebagai perbandingan, beberapa negara luar memang hanya membekali polisi dengan pentungan dalam tugas mereka, tetapi Bambang menilai hal ini hanya berlaku untuk fungsi-fungsi yang tidak menghadapi risiko tinggi.
“Satpam saja juga membawa pentungan. Kalau menjaga KAMTIBMAS untuk membubarkan massa, kan tidak perlu senjata api berpeluru tajam,” katanya.
Bambang juga mengingatkan tentang pentingnya konsistensi dalam pelaksanaan SOP penggunaan senjata api. Ia mencontohkan kasus Ferdi Sambo sebagai salah satu contoh betapa kurangnya pengawasan terhadap tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kepolisian.
“Seharusnya tidak boleh diperkenankan masuk menjadi anggota kepolisian. Tapi faktanya kan tetap diberi kesempatan masuk kepolisian,” ujar Bambang.
Sementara Polri sendiri memiliki aturan mengenai penggunaan senjata api yang sudah jelas. Namun menurut Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri, Inspektur Jenderal Abdul Karim, memang masih perlu ada optimalisasi penerapannya di lapangan.
Sebagai informasi, penggunaan senjata api pada polisi telah diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pada Pasal 47 ayat (1) dijelaskan bahwa “Penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia”.
Kemudian dijelaskan lagi pada ayat (2) bahwa senjata api hanya boleh digunakan untuk:
- Dalam hal menghadapi keadaan luar biasa;
- Membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat;
- Membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat;
- Mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang;
- Menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan
- Menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.
Kemudian pada Pasal 48 ditekankan bahwa:
“Setiap petugas polisi dalam melakukan tugasnya dengan menggunakan senjata api harus memedomani prosedur penggunaan senjata api sebagai berikut:”
a. Petugas memahami prinsip penegakan hukum legalitas, nesesitas dan proporsionalitas.
b. Sebelum menggunakan senjata api, petugas harus memberikan peringatan yang jelas dengan cara:
- Menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota Polri yang sedang bertugas;
- Memberi peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya; dan
- Memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi.
c. Dalam keadaan yang sangat mendesak dimana penundaan waktu diperkirakan dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi petugas atau orang lain disekitarnya, peringatan sebagaimana dimaksud pada huruf b tidak perlu dilakukan.
https://www.rootsieestlasteliit.org/
https://www.seattleblackpride.org/