Berangkat dari usulan Hugua, anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat( DPR) dari Fraksi PDIP yang memohon Komisi Pemilihan Universal( KPU) melegalkan aplikasi politik duit dalam proses pemilu. Perihal tersebut direspon oleh Ahli Ekonomi UM Surabaya Arin Setyowati
Arin menarangkan, politik duit( Money Politic) kerap diketahui dengan suap ataupun sogok, suatu upaya pemberian duit ataupun wujud yang lain, yang diberikan oleh partisipan kampanye dengan iktikad terang- terangan serta ataupun terselubung buat mendapatkan sokongan guna memenangkan kontestasi pemilihan.
Dalam novel“ Vote Buying in Indonesia”, Burhanudin Muhtadi menarangkan terpaut sebagian aspek yang pengaruhi politik duit di Indonesia meliputi; Sistem politik multi- partai yang berakibat maraknya jual beli suara serta saran, pada sesi ini, terjalin transaksi politik antar- elit serta partai politik. Setelah itu, Desain kelembagaan politik yang berakibat pada calon mengejar personal vote dengan metode politik duit( Muhtadi, 2019)
“ Fenomena politik duit tersebut di Indonesia sesungguhnya telah diatur dalam UU PKPU Nomor. 1 Tahun 2013 serta untuk yang melanggar hingga hendak memperoleh sanksi pidana. Tetapi, kenyataan dari pemilu ke pemilu, nyaris tidak terdapat laporan Bawaslu yang menuju pada politik duit, walaupun itu nyata serta terdapat di dikala pemilu,” ucap Arin Senin( 20/ 5/ 24)
Arin menarangkan, dalam kacamata moralitas, pasti politik duit dilarang sebab dinilai melaksanakan kecurangan dalam kompetisi, maksudnya perihal tersebut tidak fair, tidak jujur serta tidak adil. Tidak hanya itu politik duit dinilai mempengaruhi negatif terhadap hasil kompetisi, baik untuk yang terpilih ataupun warga.
Ada pula akibat politik duit terhadap keadaan ekonomi merupakan terus menjadi menumbuh suburkan praktik- praktik korupsi yang berujung bisa membatasi perkembangan ekonomi sesuatu negeri. Dari hasi riset yang dicoba oleh Paolo Mauro sebagaimana dilansir Joko Waluyo, secara ekonomi keberadaan korupsi serta politik duit hendak menganggu mekanisme transmisi pemasukan serta kekayaan. Sehingga hendak menimbulkan munculnya kesenjangan pemasukan.
“ Sebaliknya dari sisi etika politik, politik duit berefek pada rusaknya pembelajaran politik, ialah mobilisasi yang pada gilirannya menutup partisipasi politik. Sedangkan rakyat( pemilih) dalam proses semacam ini senantiasa jadi objek eksploitasi politik pihak yang mempunyai kekuasaan,” imbuhnya lagi.
Lebih parah lagi, politik duit bila cuma dijadikan ajang mencari pemasukan oleh warga awam tanpa mempedulikan nilai nilai dari demokrasi, hingga imbasnya yang hari ini bisa dilihat dari sikap kepala wilayah terpilih yang tidak mempunyai rasa solidaritas terhadap kesulitan- kesulitan yang mengenai rakyatnya. Bagitu pula dengan program- program pembangunan yang semestinya berlangsung dengan professional, transparan, serta hasil kerja( proyek) bermutu besar nyatanya tidak berlangsung semacam yang diharapkan.
“ Pasti hal- hal tersebut butuh jadi catatan kita buat revisi demokrasi substansi bernegara kita ke depan,” pungkas Arin.