Jakarta – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan ( KontraS ) mencatat terjadi 62 kasus penyiksaan dengan total korban 128 orang sepanjang Desember 2023 hingga November 2024 yang tersebar di seluruh Indonesia. Data ini dihimpun melalui Pemantauan Hak Asasi Manusia yang dilakukan KontraS selama setahun terakhir.
Wakil Koordinator KontraS Andi Muhammad Rezaldy menjelaskan, 62 kasus penyiksaan tersebut mengakibatkan 109 korban luka-luka dan 19 korban meninggal dunia. “Korban berasal dari berbagai latar belakang. Sebanyak 35 korban merupakan tersangka kriminal dan 93 lainnya merupakan warga sipil biasa,” kata Andi saat memaparkan catatan Hari HAM KontraS 2024 di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, pada Jumat, 6 Desember 2024.
Berdasarkan catatan KontraS, aparat negara dari tiga lembaga berbeda diduga menjadi pelaku penyiksaan. “Dengan jumlah pelaku terbanyak dari lembaga kepolisian dengan total 38 kejadian,” kata Andi.
Disusul oleh aparat militer dengan 15 insiden. Sipir penjara juga terlibat dalam 9 kasus penyiksaan.
Andi menjelaskan, motif penyiksaan tersebut beragam. “Sebanyak 32 kasus penyiksaan dilakukan untuk mendapatkan pengakuan, dan 30 kasus dilakukan sebagai bentuk hukuman,” katanya.
Penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan dianggap sebagai pelanggaran Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang melarang aparat memaksakan pengakuan dan keterangan dalam proses penyidikan atau interogasi. Sementara itu, penyiksaan sebagai bentuk hukuman menunjukkan budaya represif dalam penegakan hukum, menurut KontraS.
KontraS mencatat 32 korban penyiksaan dibebaskan tanpa rehabilitasi. Padahal, Indonesia memiliki Tim Kerja Sama Anti Penyiksaan (KuPP) yang terdiri dari beberapa lembaga negara, termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombudsman, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Komisi Nasional Disabilitas. “Negara seharusnya memberikan rehabilitasi bagi korban penyiksaan,” kata Andi.
Sementara itu, dalam 22 kasus penyiksaan, pelaku dibebaskan tanpa sanksi apa pun. Menurut KontraS, hal ini menunjukkan adanya budaya impunitas atau toleransi terhadap penyiksaan oleh aparat.
Andi menyatakan, negara harus memberikan hukuman kepada para pelaku. “Tidak hanya pelaku yang berada di level rendah, tetapi juga pelaku di level tinggi yang harus dimintai pertanggungjawaban dan diproses melalui mekanisme penegakan hukum,” katanya.
Ia mengatakan, situasi ini justru melanggengkan terjadinya penyiksaan. Kami belum melihat adanya hukuman yang jelas bagi lembaga yang bertanggung jawab atas penyiksaan tersebut,” kata Andi.